top of page

Tanpa Tubuh

  • Writer: joanagw
    joanagw
  • Jul 25, 2021
  • 3 min read


Oleh: Joana

Previously published on Menjadi Manusia


Kurasakan pasir-pasir berdesir tertiup angin malam yang dingin, ingin rasanya kumenjerit memecah hening, agar dapat kau rasakan hadirku di sini, namun sebagaimana biasanya, tak ada kata yang mampu terucap. Karena kini bahasaku tinggal rasa. Kutatap langit dalam-dalam. Pekat. Tak ada siapa-siapa di sana. Memang benar perasaanku. Ini waktu yang tepat. Bulan baru, di atas batu karang, kau pasti duduk di sana.


Suara musik bercampur tawa sayup-sayup terdengar dari kafe-kafe di pinggir pantai yang masih memancarkan cahaya kekuningan. Aku mendekat sejenak, mengamati orang-orang yang sedang duduk menikmati lobster mereka. Dulu, kita pernah seperti mereka. Aku tak mampu menahan senyum. Apakah kau melewati tempat ini juga tadi dalam perjalanan menuju laut? Apakah kau rasakan sesak yang sama dengan yang kurasakan sekarang? Air mataku ingin merebak, namun tak bisa. Karena kini bahasaku tinggal rasa.


Kau yang mengajari aku untuk menghitung waktu berdasarkan pergerakan bulan mengitari bumi, dan mengabaikan mentari. “Biar saja seluruh dunia menautkan waktu mereka pada matahari, biar bulan hanya jadi milik kita—orang-orang yang mampu melambatkan langkah, untuk menikmati keindahan.”


Hukumnya sederhana; purnama adalah puncak segala rasa, bulan baru adalah awal dari segala sesuatu. Hukum itu pulalah yang kupakai menandai fase-fase kehidupanku yang sederhana. Fase purnama adalah puncak segala rasa dimana aku biasanya sudah tak dapat menahan segala beban yang ditimpakan mereka padaku.


Fase bulan baru adalah fase dimana kau menyemangatiku untuk memulai lagi dari awal. Maafkan aku atas bulan baru kita yang terakhir. Segala bentuk bulan baru yang lain telah kutempuh. Kukira sudah tak ada jalan lain.


Setidaknya, sudah kupatuhi pula nasehatmu, “Jika kau merasa seperti tak ada jalan pulang, selalu kembalilah kepada laut yang layaknya hidup, surut dan pasangnya akan selalu ada berganti-ganti sesuai dengan posisi bulan.” Semoga kau setidaknya bangga aku mengingatnya.


Jiwaku bergejolak dengan rasa yang tak mampu kukenali. Kini kuyakin, kau ada di sana. Dekat. Dekat sekali. Sudah dapat kulihat ujung karang itu, gagah menahan terpaan ombak. Melesat aku, menghampirimu yang tengah menerawang kepada langit kosong. Sudah tak perlu kau bantu aku naik lagi kini, tubuhku sudah ringan!


Bahumu tertekuk. Wajahmu tampak lelah dan lebih tua dari usiamu yang semestinya. Jejak air mata tampak mengering di pipi tirusmu. Ingin kupeluk dan kuguncang kau keras-keras. “Lepaskan!” Namun, seperti biasanya, bahasaku kini tinggal rasa. Jiwaku bergetar dengan hebat. Tempat ini memang magis. Gelombang emosi dan memori menerjangku tanpa ampun. Tak kusangka aku akan menjalaninya sekali lagi.


“Jeruk!” kata Danang teman sebangkuku di taman kanak-kanak.

Turunan butho!” ejek anak-anak di kampung yang bahkan tak mengenal nama depanku.

“Maaf, dek, kedua orang tuaku tak merestui hubungan kita. Mereka lebih memilih Saskia

karena dia lebih—,” ujar, ya kau tahu siapa.

“Kurus?” potongku dengan tawa yang dipaksakan.

Ia terdiam. Ia terdiam, Pak! Ia, TERDIAM!


Kuingin kau tahu tak satupun adalah salahmu, Pak. Kau laporkan si Danang pada wali kelasku hari itu saat kupulang dengan menangis. Esok harinya seluruh kelas memanggilku Jeruk. Bukan salahmu. Kau hadang dengan sapu lidi anak-anak yang menggangguku setiap maghrib itu. “Gede, kok wedian! Bapake keceng disuru maju!” Bukan salahmu, Pak. Bukan salahmu pula saat kau tak berkata apa-apa malam aku pulang dari menjemput kabar dari, ya kau tahu siapa. Memang mau berkata apa lagi? Juga bukan salahmu membuang semua jamu pencuci perut yang kudapat dari Ki Ageng itu. Memang benar katamu seharusnya kucintai diriku sebagaimana adanya. Hanya saja, lebih udah bagimu untuk bicara, dibanding aku yang harus menapakinya.


Jadi, maafkan aku. Jika pada bulan baru yang lalu, kuputuskan untuk kembali kepada laut. Kini aku tahu ini memang hanyalah jalan termudah, bukan yang terbaik. Namun, kini aku sudah bahagia. Bahasaku kini tinggal rasa, Pak. Tubuhku kini ringan! Tolong lepaskan, Pak. Semuanya sudah terjadi, jalan pulang hanya dapat dilalui satu kali. Lepaskan, Pak, agar tenang itu dapat segera tiba.

Recent Posts

See All

Comentarios


Post: Blog2_Post

Surabaya, Indonesia

©2021 by Joana. Proudly created with Wix.com

bottom of page