top of page

The Fate in Our Stars

  • Writer: joanagw
    joanagw
  • Jul 25, 2021
  • 4 min read


Oleh: Joana

Ilustrasi berkolaborasi dengan Avroditha Nebula

Previously published on Kolom Remaja


“Sorry gue ga bisa jalan Sabtu ini. Lagi Mercury Retrograde, takut ada apa-apa.”

“Lo kok mau sih sama dia? Dia Gemini, lho, gak setia!”

“Gue keras ‘tuh karena gue Taurus! Udah terima aja!”

Percakapan-percakapan seperti itu kerap terdengar dalam lingkaran pertemanan saya sehari-hari. Saya, sebagai seorang yang berakar saintifik, tentu saja sangat heran akan fenomena membagongkan ini. Generasi kita, para anak muda, rupanya merupakan generasi yang paling menggandrungi astrologi alias ilmu perzodiakan dibanding generasi sebelumnya. Bagaimana bisa generasi yang justru sebagian besar yang telah menempuh pendidikan wajib dua belas tahun (sebagian masih ditambah gemblengan tingkat Universitas yang konon bertujuan untuk melatih kemampuan berlogika dan bernalar peserta didiknya), malah percaya pada pseudoscience menjurus mistik seperti ini?

Didorong oleh rasa penasaran yang terus menggelitik, saya akhirnya bertanya kepada salah satu teman saya perihal ini, dan jawabannya sungguh membuat saya tercengang dan terdiam.


“Jo, please, we all know astrology is not science, but that’s not the point. Kebenaran gak semuanya harus scientific, kan? As long as it is relatable, it’s true for me.”


Sangat menarik. Dari jawaban ini, saya jadi menyadari bahwa fenomena sosial yang semula tampaknya tak masuk akal ini ternyata sangat makes sense untuk dapat terjadi. Generasi anak muda yang rata-rata telah mengenyam pendidikan cukup baik dan terpapar modernitas, cenderung memiliki pola pikir yang sangat terbuka. Open-mindedness inilah yang membuat mereka mampu menerima konsep-konsep yang walaupun sesungguhnya (sangat) berbeda dengan kepercayaan atau pemahaman yang ditanamkan oleh sistem (termasuk pendidikan dan sains) pada diri mereka tanpa berprasangka atau menghakimi.


Selain itu, kita para anak muda, juga terbiasa hidup di zaman dimana jawaban atas nyaris segala pertanyaan dapat kita temukan dengan mudah di internet. Cukup dengan satu kali ‘klik’, kita sudah dapat mengakses konsep kuantum fisika, sejarah-sejarah, dan rahasia-rahasia besar dunia lainnya. Di antara sekian banyak pertanyaan-pertanyaan besar yang dapat diajukan manusia, hanya terdapat tiga hal yang tidak dapat dijawab dengan pasti oleh Mbah Gugel, yakni; siapa kita, apa yang orang lain pikirkan, dan masa depan kita. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang kemudian berusaha kita jawab melalui berbagai metode, salah satunya adalah astrologi atau zodiak (yang juga sering kali kita akses dengan bantuan Mbah Gugel). Kita semua ingin merasa dipahami dan bisa memahami orang lain. Astrologi menawarkan itu semua dengan mudah, dan kita pun menerima. Bagi saya hal ini cukup menjelaskan perilaku seorang teman saya, sebut saja Mawar, yang selalu berkonsultasi astrologi online untuk mencari (menebak) penyebab pacarnya tidak membalas chat hari ini.


Fenomena kecanduan astrologi sebenarnya juga merupakan bentuk coping-mechanism atau escapism dari kehidupan kita yang berat. Generasi kita, generasi muda masa kini, rupanya cenderung memiliki tingkat stress yang lebih tinggi dibanding generasi sebelumnya dikarenakan tuntutan yang semakin banyak dan situasi yang semakin tidak menentu (Beck, 2018). Hal ini terbukti dari omzet global industri astrologi yang meningkat drastis semenjak pandemi COVID-19 (Rakshit, 2020). Dalam tekanan situasi sulit, mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan, sekali pun itu adalah hal buruk, dapat membantu mengurangi kecemasan kita. Hal itu memberikan ilusi seakan-akan masa depan berada dalam kontrol kita. Selain itu, di saat kita gagal atau mengalami hal-hal buruk, kita akan merasa lebih baik jika mengetahui bahwa the fault actually lies in our stars, bukan pada kita (atau keputusan-keputusan buruk kita). Kepercayaan bahwa pergerakan benda-benda luar angkasa mempengaruhi peruntungan kita dapat membuat kita merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Sense of purpose yang ditimbulkan dapat mendorong kita untuk terus bertahan. Semangat yang sedang loyo pun juga bisa dibangkitkan kembali oleh ramalan akan hal-hal baik ke depannya.


Walaupun memiliki manfaat praktisnya tersendiri, jika berlebihan, kepercayaan akan zodiak dapat berdampak buruk bagi kehidupan kita. Kita akan menjadi orang-orang yang terlalu bergantung pada ‘nasib’. Kita terlalu percaya bahwa kebahagiaan dan keberhasilan kita ditentukan oleh kekuatan ekstraterestrial dibandingkan oleh usaha kita. Hal ini akan menyebabkan kita malas berjuang. “Percuma susah-susah sekarang, tunggu Jupiter gerak ke Leo aja bulan depan, nanti juga naik gaji!” Akan lebih berbahaya lagi apabila kita memutuskan untuk berhenti bertumbuh menjadi versi diri kita yang terbaik karena kita percaya kita diciptakan dengan sifat-sifat paten tertentu oleh semesta. Jangan jadikan zodiak Taurus sebagai justifikasi hati yang keras dan tak mau diusik, jangan jadikan zodiak Gemini sebagai alasan untuk terus selingkuh, jangan jadikan zodiak apapun sebagai alasan yang menghalangi kita untuk berubah menjadi lebih baik setiap harinya.


Mempercayai astrologi sebenarnya sah-sah saja, selama dilakukan dalam porsi sewajarnya. Like everything else, take it with a grain of salt. Astrologi dapat kita manfaatkan sebagai alat untuk membantu kita mengeksplorasi diri dan memahami orang-orang yang kita cintai, tapi jangan terlalu menggeneralisasi atau menjadikannya satu-satunya patokan. Manusia adalah makhluk yang kompleks, yang sebagian besar sifatnya hanya dapat dipahami melalui interaksi langsung seiring berlalunya waktu. Ingatlah juga untuk selalu menggunakan akal sehat. Bedakan hal-hal mana yang berada di luar kontrol kita, dan yang sebenarnya masih bisa kita usahakan. Tetaplah berusaha untuk bergerak maju, sekalipun planet Merkurius, atau benda-benda langit lainnya, sedang bergerak mundur dan nasibmu dikatakan akan buruk. Saya sangat percaya jalan hidup manusia tidak bisa dikotak-kotakkan, oleh semesta dan bintang-bintang sekalipun.


References:

Beck, Julie. “Why Are Millennials So Into Astrology?” The Atlantic, Atlantic Media Company, 22 June 2021, www.theatlantic.com/health/archive/2018/01/the-new-age-of-astrology/550034/.

The Swaddle. “Why Do People Still Believe In Astrology?” The Swaddle, 24 June 2020, theswaddle.com/why-do-people-still-believe-in-astrology

Recent Posts

See All
The American Diner

By: Joana Written for Western Culture & Civilization Class Sitting in a diner with its chrome counter-top and cherry pie is definitely a...

 
 
 

Comments


Post: Blog2_Post

Surabaya, Indonesia

©2021 by Joana. Proudly created with Wix.com

bottom of page